Etik Dan Emik Pada Karya Etnografi


etik, emik, etnografi

Pada kesempatan kali ini saya akan mereview sebuah artikel yang ditulis oleh M. Rawa El Amady dengan judul “Etik Dan Emik Pada Karya Etnografi” halaman 167-189. Tujuan penulisan ini adalah untuk memahami perspektif etik dan emik pada karya etnografi, memahami etik dan emik dengan paradigma antropologi, dan memberi kontribusi bagi perkembangan kajian etik dan emik studi etnografi. Dalam membaca etik dan emik karya etnografi penulis melakukan pemahaman dari etik peneliti dan etik informan, pemahaman emik dari informan dan emik dari peneliti. Di sini suatu karya tidak bisa dikatakan hanya karya etik saja atau karya emik saja. Pada bagian ini penulis memaparkan diskripsi hasil analisis karya etnografi perspektif emik dan etik berdasarkan tiga hal penting, yaitu paradigma, studi lapangan, dan teknis penyajian. Penulis memilih lima buku untuk dianalisis secara mendalam, yaitu diantaranya:
Pertama, Abangan Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa yang ditulis oleh Clifford Geertz (1981). Buku ini merupakan studi lapangan Geertz di Mojokuto selama setahun. Menurut penulis buku ini ditulis karena sebagai implementasi dari tulisan Geertz Religion as Cultural System, hipotesis Geertz yang dibangun berdasarkan perkembangan politik aliran yang terjadi secara nasional tahun 50-an. Secara paradigmatik buku ini dominan etik, sedangkan paradigma yang dipakai Geertz pada buku ini adalah paradigma struktural fungsionalisme yang dapat dilihat dari piramida yang dia buat pada halaman 482. Kemudian teks-teks pada setiap alenia dalam buku ini dipahami melalui pendekatan interpretif simbolisme, lalu teks tersebut ditabulasi melalui konten analisis secara terbatas. Penulis mengungkapkan bagaimana etik dan emik disajikan pada karya etnografi ini, yaitu 1) penulis sebagai narasi suara informan, ini bermakna emik bertransformasi menjadi semi emik dalam karya etnografi; 2) informan langsung bersuara, ini bermakna emik betul-betul muncul hingga ke karya etnografi dan kita sebut emik; 3) data emik dikonstruksi sedemikian rupa sehingga menjadi etik. Kesimpulannya adalah buku Geertz ini dominan etik karena data etiknya jauh lebih besar dari data emik dan semi emik. Namun, pada karya ini berkomunikasi sangat dinamis dan kontestasi antara etik dan emik muncul secara bergantian dalam setiap alinia buku tersebut.
Kedua, Panjaja dan Raja yang ditulis oleh Geertz, Clifford (1992). Buku ini mendiskripsikan dua kota yaitu Mojokuto dan Tabanan Bali terutama dua pasarnya. Menurut penulis Geertz terpengaruh oleh pemikiran Malinowski yang melihat ekonomi tidak berdiri sendiri. Geertz menghubungkan ekonomi dengan sosial dan budaya. Pasar dibentuk oleh struktur sosial dan pasar juga membentuk struktur sosial. Geertz manjelaskan bazaar/pasar tradisional dengan tiga sudut pandang, yaitu arus barang dan jasa menurut pola tertentu, mekanisme pengatur arus barang dan jasa, dan sistem sosial dan kebudayaan dimana mekanisme tersebut tertanam. Pada karya ini Geertz terpengaruh oleh paradigma materialisme kebudayaan yang terlihat dari cara Geertz mendeskripsikan pasar yang sangat numerik dan pengaruh material kebudayaan terhadap perilaku budaya pasar. Teks besar buku ini berada dalam kotak struktural fungsionalisme, ini terlihat bagaimana hipotesis Geertz tentang lemahnya organisasi pasar di Mojokuto dan tabanan sebagai suatu sumber masalah utama pasar di Indonesia dan kemunculan pengusaha Indonesia. Teks ini bertujuan untuk mendapatkan generalisasi dari data yang tersedia. Buku ini merupakan hasil kerja lapangan dari dua riset, yaitu di Mojokuto dan Bali tetapi riset itu tidak dimaksudkan untuk menulis buku ini. Data yang tersedia pada penelitian sebelumnya menjadi material bagi penulisan buku ini. Oleh sebab itu penelitian buku ini dilakukan secara emik. Kemudian voice dalam teks buku ini sangat dominan etik, cara penyampaiannya mengindikasikan pada paradigma materialisme. Pada karya ini tidak muncul komunikasi dan kontestasi antara etik dan emik.
Ketiga, Permainan Mendalam: Catatan Tentang Sabung Ayam di Bali yang ditulis oleh Geertz, Clifford (1992). Karya ini mengukuhkan paradigma interpretif simbolik dalam antropologi yang mencari makna dari berbagai simbol yang bertebaran dalam masyarakat. Kuatnya perspektif emik dalam karya ini menjadikan interpretif simbolik sebagai ikon perspektif emik. Melalui artikel ini, Geertz mendiskripsikan makna dibalik sabung ayam di Bali sebagai suatu konstruksi sosial masyarakat Bali. Dibalik sabung ayam tersebut, ada suatu bangunan kultur yang besar, tentang status, kepahlawanan, kejantanan, dan etika sosial yang menjadi dasar pembentukan kultur Bali. Geertz mengkontruksi sabung ayam dengan pranata sosial yang ada di Bali. Menurut Geertz sabung ayam bukan sekedar judi, tetapi merupakan simbol ekspresi dari status, otoritas, dll. Kemudian kerja lapangan untuk menulis karya etnografi ini benar-benar emik. Ini tergambar dari bagaimana proses awal Geertz dan isterinya terlibat dalam permainan adu ayam tersebut dan semuanya ditulis apa adanya. Pada teks ini peneliti bertindak sebagai penutur, semua data emik dituturnya secara runtut tanpa campur tangan etik. Tapi tidak satupun emik tampil secara langsung.
Keempat, Keluarga Jawa yang ditulis oleh Hildred Geertz (1985). Secara keseluruhan buku ini berisi eksplanasi penulisnya tentang keluarga Jawa di Mojokuto. Hildred menjelaskan banyak hal, meliputi hubungan pertalian dalam keluarga, tradisi mulai dari perkawinan, melahirkan, hubungan antar anak, dewasa, seks, dan nilai-nilai kejawen dalam keluarga. Penelitian ini menggunakan paradigma struktural fungsionalisme. Hildred melakukan kerja emik dengan tinggal lama di masyarakat, tetapi data yang diambil terbatas pada ruang hipotesis yang disediakan. Hildred secara konsisten menyajikan tulisannya dalam kerangka struktural fungsionalisme, teks-teks disajikan secara etik dan emik muncul untuk mendukung kebenaran etik.
Kelima, Senjata Orang-Orang Kalah: Bentuk Perlawanan Sehari-hari Kaum Tani yang ditulis oleh Scoot, James, S. (2000). Buku ini mengangkat tema antropologi kekuasaan, meliputi tema politik perlawanan kaum lemah di Sedaka Malaysia. Buku ini membuktikan bahwa kekuasaan ada ditangan siapa saja dan perlawanan bisa dilakukan kapan saja baik saat kuat ataupun lemah. Paradigma konflik dari Marx sangat kuat mulai dari awal hingga akhir buku ini. Dalam hal ini Scoot memperlakukan emik sebagai sesuatu yang otonom. Kerja lapangan yang dilakukan Scoot benar kerja emik secara otonom. Scoot menyajikan karyanya dengan cara memberi ruang emik untuk tampil melalui narasi yang di sampaikan, teknik penyajian laporan sangat dominan etik yang merupakan konstruksi dari emik. Buku ini disajikan dengan sangat dominan etik.
Dari lima buku yang dianalisis di atas tampak kecenderungan emik semakin menguat karena hadirnya paradigma interpretif simbolik dan postmoderisme. Etik dan emik sesuatu yang bukan untuk dipisahkan keduanya akan selalu ada dalam karya etnografi dan saling melengkapi dan semenjak terbitnya buku the interpretation of culture tahun 1973 oleh Geertz, kecenderungan emik lebih dominan dan posisi emik menggantikan posisi etik.
Jadi kesimpulannya adalah memahami karya etnografi melalui perspektif emik bukanlah pekerjaan yang sederhana, tetapi memerlukan suatu proses yang detail dan teliti. Karya etnografi yang dominan etik bukan berarti mengabaikan emik dan mengetahui emik peneliti dalam karya etnografi akan menghadapi banyak kesulitan karena hambatan pengetahuan tentang peneliti dan kultur dimana peneliti berasal. Posisi etik dan emik pada karya etnografi sangat ditentukan oleh paradigma yang menyertainya. Kemudian karya-karya etnografi Geertz sebelum tahun 70-an sangat kuat etik, ini terbukti Geertz mempengaruhi secara kuat cara berpikir Hildred dalam bukunya masyarakat Jawa. Lalu bagi saya artikel ini tentu sangat berguna karena dapat memberikan pengetahuan bagi pembacanya tentang etik dan emik pada karya etnografi.

Sumber:
M. Rawa El Amady. Etik dan emik pada karya etnografi. Halaman 167-189.

Comments

Popular Posts