KEHIDUPAN SOSIAL, EKONOMI, dan KONFLIK MASYARAKAT PESISIR di DESA PIDODO KULON, KABUPATEN KENDAL

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Dalam KBBI pengertian desa adalah “Kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri (dikepalai oleh seorang kepala desa).” sedangkan menurut Widjaja (2003:3)[5] desa adalah “Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa”.

Menurut Horton (1991) masyarakat adalah “Sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, yang hidup bersama-sama cukup lama, mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut”.  

Desa Pidodo Kulon adalah desa yang terletak di Kecamatan Patebon, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Desa Pidodo Kulon sangat berdekatan dengan Pantai Muara Kasih yang menyebabkan adanya persamaan mata pencaharian yaitu sebagai nelayan dan petani. Selain itu Desa Pidodo Kulon sangat jauh letaknya dari Kabupaten Kendal yaitu sejauh 11 kilometer. Hal itu yang menjadi salah satu penyebab mahalnya harga sembako di Desa Pidodo Kulon karena jauhnya jarak tempuh dari desa sampai ke kota dan akses jalannya yang sulit dilalui.

Desa Pidodo Kulon masih banyak terdapat lahan pertanian yang sangat luas yang ditanami berbagai macam tanaman untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, tetapi di samping luasnya lahan pertanian di Desa Pidodo Kulon ada pula lahan yang tidak bisa ditanami berbagai macam tanaman karena air dari laut yang meluap ke lahan pertanian sehingga membuat warga masyarakat resah. Sampai sekarang ini upaya pemerintah untuk mengatasi hal tersebut belum menghasilakan perubahan yang nyata. Selain sebagai petani warga Desa Pidodo Kulon ada yang bekerja sebagai nelayan karena memang lokasinya berdekatan dengan laut. Penduduk Desa Pidodo Kulon masih belum terlalu banyak, sehingga bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan masih sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Desa Pidodo Kulon memiliki penduduk kurang dari 2.500 jiwa, dengan adanya jumlah penduduk yang masih sedikit ini menyebabkan warga masyarakatnya masih saling mengenal, tolong menolong, dan masih mengandalkan alam sebagai pemenuh kebutuhan hidup sehari-hari.

1.2.Rumusan Masalah

1.      Bagaimana karakteristik sosial dan struktur sosial masyarakat pesisir di Desa Pidodo Kulon?

2.      Bagaimana perubahan teknologi perikanan, pertanian dan formasi sosial serta konflik - konflik yang ada di Desa Pidodo Kulon?

3.      Bagaimana pengelolaan dan pemberdayaan sumber daya perikanan di Desa Pidodo Kulon?

1.3.Tujuan

1.      Untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia.

2.      Untuk mengetahui bagaimana karakteristik sosial dan struktur sosial masyarakat pesisir di Desa Pidodo Kulon.

3.      Untuk mengetahui bagaimana perubahan teknologi perikanan, pertanian dan formasi sosial serta konflik - konflik yang ada di Desa Pidodo Kulon.

4.      Untuk mengetahui bagaimana pengelolaan dan pemberdayaan sumber daya perikanan di Desa Pidodo Kulon.

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1. Karakteristik Sosial dan Struktur Sosial Masyarakat Pesisir di Desa Pidodo Kulon

Secara sosiologis, karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakteristik masyarakat agraris karena perbedaan karakteristik sumber daya yang dihadapi. Tetapi disini yang menjadi objek penelitian adalah Desa Pidodo Kulon yang dimana desa ini masyarakatnya sebagai masyarakat pesisir dan sebagai masyarakat agraris. Masyarakat agraris yang direpresentasi oleh kaum tani menghadapi sumber daya yang terkontrol, yakni pengelolaan lahan untuk produksi suatu komoditas dengan hasil yang relatif bisa diprediksi. Dalam hal ini, pembudidaya ikan dapat tergolong masyarakat petani karena relatif miripnya sifat sumber daya yang dihadapi, yakni pembudi daya mengetahui berapa, dimana, dan kapan ikan akan ditangkap sehingga pola pemanenan lebih terkontrol. Tetapi untuk nelayan sendiri berbeda dengan pembudi daya ikan, karena nelayan menghadapi sumber daya yang hingga saat ini masih bersifat terbuka (open acces). Karakteristik sumber daya ini menyebabkan nelayan harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil maksimal. Menurut Dadang beliau seorang pengepul hasil laut dari para nelayan menyatakan bahwa “Para nelayan selalu berpindah-pindah dalam waktu yang lumayan lama untuk mencari ikan bisa dua minggu, sebulan, atau bahkan lebih. Para nelayan tidak selalu menetap hanya di satu daerah saja tetapi dimana terdapat banyak ikan disitulah para nelayan akan mencari ikan”. Dengan demikian elemen resiko menjadi sangat tinggi yang menyebabkan nelayan memiliki karakter keras, tegas, dan terbuka.

Selain menjadi seorang nelayan masyarakat Desa Pidodo Kulon juga merangkap pekerjaannya menjadi seorang petani juga. Hal ini ditunjang oleh kondisi ekosistem yang memang memungkinkan, seperti tersedianya area lahan persawahan di sekitar pantai. “Ada musim - musim tertentu bagi nelayan untuk turun ke sawah karena saat musim hujan para nelayan pun jarang pergi ke laut untuk mencari ikan karena ombak dan angin yang tidak stabil” tutur Dadang saat saya sedang mewawancarai, sehingga setelah musim penghujan selesai para nelayan kembali melaut. Rangkapan pekerjaan tersebut merupakan bagian dari pola adaptasi masyarakat pesisir terhadap kondisi ekologi yang mereka hadapi.

Masyarakat Desa Pidodo Kulon antara masyarakat yang bekerja sebagai nelayan ataupun petani memiliki kemiripan, yaitu sifat usahanya berskala kecil dengan peralatan dan organisasi pasar yang sederhana, sebagian besar menyandarkan diri pada produksi yang bersifat subsisten, dan memiliki keragaman dalam tingkat dan perilaku ekonominya. Masyarakat Desa Pidodo Kulon sangat tunduk dan berusaha menjaga keselarasan dengan alam, karena pandangan mereka bahwa alam memiliki kekuatan magis sehingga mereka melaksanakan upacara sedekah laut yang sebenarnya merupakan bagian dari sikap ketundukan pada alam laut.

Karakteristik masyarakat Desa Pidodo Kulon dapat dijelaskan sebagai berikut :

1.      Sistem pengetahuan

Pengetahuan tentang teknik penangkapan ikan didapatkan dari warisan orangtua atau pendahulu mereka berdasarkan pengalaman empiris. Kuatnya pengetahuan lokal tersebutlah yang menjadi salah satu faktor penyebab terjaminnya kelangsungan hidup mereka sebagai nelayan.

2.      Sistem kepercayaan

Nelayan di Desa Pidodo Kulon masih memiliki kepercayaan cukup kuat bahwa laut memiliki kekuatan magis, sehingga diperlukan perlakuan-perlakuan khusus dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan agar keselamatan dan hasil tangkapan semakin terjamin. Tradisi tersebut yaitu tradisi sadranan, yaitu upacara rutin yang dilakukan setiap Suro (Muharram) oleh para nelayan dalam rangka memberikan sesajian untuk penghuni di sekitar pantai. Sistem kepercayaan tersebut hingga saat ini masih mencirikan kebudayaan nelayan. Namun, seiring perkembangan teologis berkat meningkatnya tingkat pendidikan atau intensitas pedalaman terhadap nilai-nilai agama, upacara-upacara tersebut bagi sebagian kelompok nelayan hanyalah sebuah ritualisme. Maksudnya adalah suatu tradisi yang terus dipertahankan meskipun telah kehilangan makna sesungguhnya. Jadi, tradisi tersebut dilangsungkan hanya sebagai salah satu instrumen stabilitas sosial dalam masyarakat nelayan Desa Pidodo Kulon.

3.      Peran perempuan

Aktivitas ekonomi perempuan merupakan gejala yang sudah umum bagi kalangan masyarakat strata bawah, tanpa terkecuali perempuan yang berstatus sebagai istri nelayan, di Desa Pidodo Kulon kebanyakan para perempuan (istri) bekerja sebagai TKW di luar negeri untuk membangun rumah, karena memang kebudayaan di Desa Pidodo Kulon adalah istri bekerja untuk membangun rumah, dan suami bekerja untuk mengisi rumah. Tetapi adapula istri nelayan menjalankan fungsi ekonomi yang lain, yaitu membantu suami untuk mengolah ikan dan menjual ikan. Memang istri para nelayan pada umumnya hanya menjalankan fungsi domestik dan ekonomi dan tidak sampai pada wilayah sosial politik. Namun sebenarnya istri nelayan juga kreatif dalam menciptakan pranata-pranata sosial yang penting bagi stabilitas sosial pada komunitas nelayan. Misalnya pada acara pengajian, arisan, serta simpan pinjam.

4.      Posisi Sosial Nelayan

Posisi sosial nelayan dalam masyarakat Desa Pidodo Kulon dianggap memiliki status yang relatif rendah karena kalangan muda yang bersedia menjadi nelayan sedikit. Mereka lebih memilih bekerja menjadi buruh pabrik ataupun merantau ke kota untuk mendapatkan pekerjaan. Akan tetapi keluarga nelayan sangat bangga dengan profesinya. Rendahnya posisi sosial nelayan juga diakibatkan keterasingan nelayan karena banyaknya alokasi waktu nelayan untuk kegiatan penangkapan ikan daripada untuk bersosialisasi dengan masyarakat non nelayan yang memang secara geografis relatif jauh dari pantai. Secara politik posisi nelayan kecil tidak mampu untuk mempengaruhi kebijakan publik, tetapi para elit nelayan bermodal mampu merespons dan menyalurkan aspirasi terhadap suatu kebijakan.

Nelayan di Desa Pidodo Kulon termasuk post-peasant fisher dimana dalam penangkapan ikan para nelayan menggunakan kapal motor yang semakin membuka peluang bagi nelayan untuk menangkap ikan di wilayah perairan lebih jauh sehingga mereka memperoleh surplus dari hasil tangkapannya itu. Disini nelayan sudah berorientasi pasar, dimana mereka menjual hasil tangkapannya kepada pengepul yang ada di Desa Pidodo Kulon.

Struktur sosial dalam masyarakat nelayan Pidodo Kulon berciri ikatan patron-klien yang kuat, dimana ikatan tersebut berkonsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh dengan risiko dan ketidakpastian. Karena antara nelayan dengan patronnya menguasai sumber daya tidak sama. Dimana patron menguasai sumber daya modal jauh lebih besar daripada nelayan. Pada saat hasil tangkapan kurang baik, nelayan kekurangan uang. Hubungan patron-klien pada masyarakat nelayan Desa Pidodo Kulon terjalin antara nelayan tangkap dengan langgan atau pengepul. Sistem langgan ini biasa berlaku bagi nelayan-nelayan yang menjaring tangkapannya, seperti rajungan, udang, ikan, dan lain-lain. Harga tangkapan yang dijual kepada langgan lebih rendah dibandingkan harga pasar.

Para nelayan memiliki solidaritas sesama yang kuat, etos kerja, dan mobilitas tinggi, tetapi mereka belum mampu mengorganisasi diri baik untuk kepentingan ekonomi maupun profesi. Dapat diketahui bahwa “Masyarakat Desa Pidodo Kulon memiliki gaya hidup yang tinggi” (Dadang2019).

2.2. Perubahan Teknologi Perikanan, Pertanian dan Formasi Sosial serta Konflik – Konflik Desa Pidodo Kulon

Perubahan teknologi perikanan, baik penangkapan maupun budidaya, secara antropologis dipandang sebagai perubahan kebudayaan. Perubahan tersebut dapat berlangsung melalui adopsi dan inovasi. Bagi masyarakat pesisir, menerima suatu temuan harus didasarkan pada bukti empiris. Perubahan teknologi juga terjadi sebagai hasil difusi oleh pihak luar. Urgensi modernisasi perikanan melalui perbaikan teknologi dapat dilakukan oleh nelayan Desa Pidodo Kulon dengan melaut menggunakan perahu motor. Modernisasi perikanan melalui peningkatan kualitas alat tangkap mampu meningkatkan produksi perikanan sehingga meningkatkan pendapatan nelayan.

Pola bagi hasil merupakan salah satu bagian terpenting dalam hubungan produksi usaha perikanan. Pada nelayan Desa Pidodo Kulon berlaku sistem bagi hasil yang tidak menggunakan uang sebagai alat ukur melainkan lebih menekankan pola bagi hasil tangkapannya. Sistem ini tercipta sebagai konsekuensi dari tingginya tingkat risiko usaha penangkapan. Biasanya para nelayan membagi tiga hasil tangkapannya, dimana satu bagian untuk para pencari ikan dan dua bagian untuk pemilik perahu. Masing-masing nelayan mendapatkan bagian yang berbeda-beda tergantung pada spesialisasi pekerjaannya. Spesialisasi pekerjaan itu menunjukkan tanggung jawab dan berat atau ringannya pekerjaan tersebut.

Untuk masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani, mereka sudah menggunakan teknologi untuk membajak, menanam dan memanen padi, alat teknologi tersebut berasal dari pemerintah untuk dimanfaatkan masyarakat setempat agar mampu meringankan pekerjaan mereka dan tidak memakan banyak waktu. Mengingat di Desa Pidodo Kulon sudah sangat sulit untuk mencari buruh harian untuk mencangkul sawah, menanam padi, memanen padi, dan lain sebagainya dikarenakan yang seharusnya menjadi penerus petani kebanyakan enggan untuk mengurus sawah. “Mereka lebih memilih bekerja di pabrik, ataupun merantau ke kota”. itu yang diungkapkan oleh Sutiono seorang warga asli dari Desa Pidodo Kulon yang bekerja menjadi seorang petani.

Secara sosiologis, kajian konflik merupakan bagian dari kajian proses sosial. Persaingan dapat terjadi antara orang perorangan maupun antar kelompok dalam mencapai suatu keuntungan melalui segala aspek kehidupan. Persaingan yang dilakukan oleh orang perorangan atau antar kelompok melahirkan beberapa bentuk persaingan yaitu, persaingan ekonomi, persaingan kedudukan dan peranan, dan persaingan ras (Soekanto 1995). Beberapa faktor yang menjadi akar penyebab terjadinya konflik, menurut Soekanto (1995) adalah “Perbedaan individu, perbedaan budaya, perbedaan kepentingan, dan perubahan sosial”. Biasanya konflik akan terjadi apabila masing-masing pihak tidak bisa menerima atau menghormati prinsip atau sistem nilai yang dimiliki oleh pihak lain sehingga muncul keinginan untuk mengubah sistem tersebut.

Dalam kegiatan perikanan, khususnya penangkapan ikan, konflik merupakan gejala sosial yang sering ditemukan di berbagai wilayah perairan. Gejala sosial tersebut dapat dilihat dari perspektif sumber daya, yaitu konflik antar nelayan sering terjadi dalam memperebutkan sumber daya ikan yang jumlahnya terbatas. Ini terlihat dari nelayan yang berpindah-pindah dalam mencari ikan, tidak hanya dalam jarak dekat tetapi jauh. “Seperti nelayan yang berasal dari Demak kemudian mencari ikan sampai ke Kendal atau ketempat yang lainnya” ( Dadang2019). Perebutan ini terjadi karena karakteristik sumber daya perikanan yang bersifat open acces. Dengan karakter itu, seolah-olah sumber daya tersebut dapat diperebutkan siapa saja, kapan saja, dan dengan alat tangkap apa saja. Hal ini disebabkan, selain pemerintah pada umumnya telah memiliki regulasi pengelolaan sumber daya, juga masyarakat sendiri banyak yang telah memiliki aturan main. Karena itu, yang dapat ditemukan secara empiris adalah kondisi sumber daya yang bersifat quasi open acces.

Secara anatomis, sebenarnya konflik dalam masyarakat pesisir, khususnya nelayan, dapat dibedakan atas faktor-faktor penyebabnya. Berdasarkan Satria (2009a), terdapat tujuh macam konflik yaitu : konflik kelas, konflik kepemilikan sumber daya, konflik pengelolaan sumber daya, konflik cara produksi atau alat tangkap, konflik lingkungan, konflik usaha, dan konflik primordial.

Selain beberapa konflik yang terjadi pada masyarakat nelayan, disini juga ada beberapa konflik pada masyarakat petani, yaitu sebagai berikut :

1.      Akibat luapan air laut menyebabkan beberapa lahan pertanian tidak bisa ditanami oleh tanaman karena sangat membahayakan tanaman tersebut, akibatnya beratus-ratus meter lahan pertanian kosong hanya dihidupi oleh rumput-rumput. Tentu hal ini sangat disayangkan karena lahan yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat kini tidak bisa dimanfaatkan. Sampai saat ini upaya pemerintah untuk menanggulangi hal tersebut belum berhasil. Sehingga warga masyarakat masih sangat resah dan khawatir jika air laut yang meluap semakin banyak.

2.      “Rendahnya harga jual hasil panen, yang tidak menguntungkan para petani membuat petani resah karena tidak sebanding dengan pengeluaran serta biayanya” (Sutiono2019). Dimana Sutiono mengaku bahwa hasil panennya dibeli dengan harga yang sangat murah oleh para pengepul. Pak Sutiono terpaksa untuk menjual hasil panennya dengan harga yang rendah karena tidak ada pilihan lain. Jika padi diolah menjadi beras tentu akan semakin mahal harganya, tetapi semakin tidak ada yang mau membeli. Itu yang membuat para petani dilema.

3.      Sulitnya mendapatkan air saat musim kemarau, karena tanaman tidak bisa menggunakan air laut maka para petani setiap musim kemarau kesulitan mendapatkan air.

4.      Jalan yang sulit diakses, karena Desa Pidodo Kulon yang terletak jauh dari kota dan akses jalannya yang sangat memperihatinkan juga mempengaruhi proses pendistribusian hasil tanaman. Petani mengeluhkan akan kondisi jalan tersebut tetapi sampai sekarang jalan tersebut belum diperbaiki “Hanya di ukur-ukur saja, tetapi tidak segera diperbaiki” (Sutiono2019).

5.      Sulitnya mendapatkan tenaga kerja untuk mengerjakan sawah, karena anak-anak jaman sekarang tidak mau bekerja menjadi petani yang kerjanya berpanas-panasan di sawah (Sutiono2019).

Ibarat tikus mati kelaparan di lumbung padi, bahwa kemiskinan petani dan nelayan masih terjadi di tengah limpahan kekayaan sumber daya alam. Disini ada yang mengatakan bahwa nelayan itu miskin, bahkan termisikin diantara orang miskin. Ada pula yang mengatakan bahwa nelayan tidaklah miskin. Buktinya ketika terjadi krisis, nelayan tenang-tenang saja. Bahkan, mereka menikmati krisis ekonomi tersebut “Adakalanya kami memiliki pendapatan yang banyak dan adakalanya kami harus beristirahat, buktinya sampai sekarang masih bisa hidup cukup bisa makan, hanya saja sering dimarahin istri karena nggak punya uang” (Dadang2019). Mereka sangat luwes menghadapi naik turunnya perekonomian.

Persoalan kemiskinan nelayan disebabkan oleh kemalasan, keterbatasan modal, dan teknologi, keterbatasan manajemen, dan kondisi sumber daya alam. Kemudian lemahnya posisi nelayan atau pembudidaya ikan dalam pemasaran juga menjadi penyebab kemiskinan nelayan. Karena marjin pemasaran lebih banyak jatuh ke pedagang dan bukan ke nelayan atau pembudi daya ikan. Posisi tawar menawar nelayan yang lemah ini disebabkan juga oleh sedikitnya produksi akibat rendahnya produktivitas. Dengan demikian, produsen tidak memiliki pilihan yang banyak untuk menjual hasilnya. Akibat desakan kebutuhan ekonomi dan uang tunai yang tinggi yang kadang muncul setiap hari, nelayan tidak bisa melakukan spekulasi untuk mendapat harga jual produknya yang lebih tinggi atau lebih baik. Dalam situasi ini, nelayan menerima harga yang ditawarkan pasar dan menjalankan hidupnya dari hari ke hari dengan uang tunai yang tinggi yang kadang muncul setiap hari. Harusnya disini perlu kebijakan-kebijakan alternatif yang secara riil mendorong nelayan untuk melakukan mobilitas vertikal.

2.3. Pengelolaan dan Pemberdayaan Sumber Daya Perikanan di Desa Pidodo Kulon

Pengelolaan sumber daya merupakan upaya penting dalam menjaga kesinambungan sumber daya. Dengan begitu, tidak saja generasi sekarang yang dapat menikmati kekayaan sumber daya, melainkan juga generasi mendatang. Kini masyarakat Desa Pidodo Kulon mulai memperhatikan pengelolaan sumber daya karena mereka sadar bahwa sumber daya apabila tidak dikelola dengan baik akan terancam kelestariannya.

Untuk pengelolaan dan pemberdayaan sumber perikanan disini melalui tiga klasifikasi, yaitu:

1.      Pengelolaan oleh pemerintah, dimana pemerintah memegang seluruh kendali pengelolaan sumber daya perikanan, khususnya dalam hak inisiatif maupun pengawasan melalui organisasi formal yang dimilikinya. Pengelolaan berpusat pada pemerintah didasarkan pada alasan bahwa ada fungsi-fungsi tertentu dalam pengelolaan sumber daya, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilitasi. Namun, pada kenyataannya pengelolaan sumber daya, yang berpusat pada pemerintah tersebut, mengandung beberapa kelemahan.

2.      Pengelolaan oleh masyarakat, dimana pengelolaan sepenuhnya dilakukan oleh para nelayan atau pelaku usaha perikanan melalui organisasi yang sifatnya informal, sehingga mampu meningkatkan rasa kepemilikan atas sumber daya.

3.      Ko-manajemen, disini pemerintah dan masyarakat yang sering diwakili organisasi nelayan atau koperasi perikanan sama-sama terlibat dalam proses pengelolaan sumber daya, mulai dari perencanaan hingga pengawasan.

Menurut Pomeroy dan Berkes (1997) (dalam Nikijuluw,2002) menyatakan ada sepuluh tingkatan ko-manajemen yang disusun berdasarkan tentang partisipasi masyarakat dan tanggung jawab pemerintah, yaitu :

1.      Masyarakat hanya memberikan informasi kepada pemerintah dan informasi tersebut digunakan sebagai bahan perumusan manajemen

2.      Masyarakat berkonsultasi dengan pemerintah

3.      Masyarakat dan pemerintah saling bekerja sama

4.      Masyarakat dan pemerintah saling berkomunikasi

5.      Masyarakat dan pemerintah saling bertukar informasi

6.      Masyarakat dan pemerintah saling memberi nasihat dan saran

7.      Masyarakat dan pemerintah melakukan kegiatan atau aksi bersama

8.      Masyarakat dan pemerintah bermitra

9.      Masyarakat melakukan pengawasan terhadap peraturan yang dibuat oleh pemerintah

10.  Masyarakat lebih berperan dalam melakukan koordinasi antarlokasi atau antar daerah dan hal tersebut didukung oleh pemerintah.

Pada masyarakat nelayan Desa Pidodo Kulon menerapkan pengelolaan sumber daya perikanan dengan model Ko-manajemen. Dimana antara masyarakat dan pemerintah saling bekerja sama. Pemerintah selalu melakukan pengawasan atas para nelayan, akan tetapi para nelayan juga diberi kebebasan dalam menangkap hasil laut selama masih menaati peraturan yang ada.

Keterbelakangan suatu masyarakat bersumber dari masyarakat itu sendiri, sehingga solusinya adalah perlunya bantuan dari pihak luar. Akses dalam pemberdayaan masyarakat pesisir adalah akses terhadap SDA, akses terhadap partisipasi, akses terhadap pasar, dan akses terhadap informasi pengetahuan. Harapannya dengan adanya pemberdayaan menciptakan masyarakat yang informed, memanfaatkan kesempatan akses terhadap pelayanan umum, menciptakan bridging social capital antara masyarakat pesisir yang satu dengan yang lain dalam satu kawasan, dan menciptakan linking social kapital dalam berjejaring dengan pemerintah sehingga menciptakan kerjasama yang bersifat akuntabel dan transparasi atas kebijakan yang mengatur masyarakat.

Dalam pemberdayaan nelayan perlu dipahami adanya keunikan karakteristik sosial nelayan dengan melalui prinsip tujuan, prinsip pengetahuan dan penguatan nilai lokal, prinsip keberlanjutan, prinsip ketepatan kelompok sasaran, dan prinsip kesetaraan gender. Pada tahun 2001 pemerintah menerapkan prinsip to help them to help themselves yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui penguatan kelembagaan sosial ekonomi dengan pendayagunaan sumber daya laut dan pesisir secara berkelanjutan. Terakhir yang perlu dilakukan adalah monitoring dan evaluasi untuk memantau implementasi program serta mengkaji ulang kelemahan dan kelebihan dari program, termasuk kendala-kendalanya.

 

BAB III

PENUTUP

3.1.Kesimpulan

Desa merupakan kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri. Desa Pidodo Kulon merupakan Desa yang termasuk dalam kawasan pesisir yang berada di Kabupaten Kendal. Desa ini memiliki memiliki dua mata pencaharian utama, yaitu petani dan nelayan. Solidaritas di Desa ini masih sangat kental, mengingat desa ini berlokasi lumayan jauh dari pusat kota yang menyebabkan para warga Desa Pidodo Kulon sangat menghargai sebuah kebersamaan dan gotong royong. Pola kependudukan yang ada di Desa Pidodo Kulon ini adalah pola kekerabatan, dimana jika diurutkan antara tetangga satu dengan yang lainnya masih bersaudara.

Bagi para nelayan dan petani, mereka bekerja berorientasi hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka pergi melaut dari pagi sampai siang ataupun sore sampai malam untuk mencari ikan. Sedangkan para petani pergi ke sawah dari pagi sampai siang ataupun sampai sore.

Di berbagai tempat pastinya terdapat stratifikasi sosial, begitu pula dengan Desa Pidodo Kulon. Status sosial juga masih sangat terlihat, antara kelas atas, menengah, dan kelas bawah, tetapi walaupun dengan adanya stratifikasi itu tidak membuat warga sangat terkotak-kotak. mereka tetap saling berinteraksi, menghormati dan saling tolong menolong.

Desa ini tentu tidak terlepas dari beberapa masalah, entah masalah yang dialami oleh nelayan ataupun petani, tetapi mereka sudah berusaha untuk membicarakannya dengan pemerintah dan mengatasi masalah tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

 

Dadang interview.2019.” Kehidupan Sosial, Ekonomi, dan Konflik Masyarakat Pesisir di Desa Pidodo Kulon, Kabupaten Kendal”.Kendal.

Ebta Setiawan. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). [Internet]. Tersedia di: https://kbbi.web.id/desa.

Horton, Paul B. And Chester L. Hunt. 1991. Sosiologi. Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama.

Nasution A, Badaruddin. 2005. Isu-Isu Kelautan Dari Kemiskinan Hingga Bajak Laut. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Pomeroy, R.S and Berkes. 1997. Two to Tango: The Role of Government in Fisheries CoManagement. Marine Policy.

Satria, Arif. 2009a. Ekologi Politik Nelayan. Yogjakarta: LkiS.

Satria, Arif. 2015. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Soekanto, Soerjono. 1995. Sosiologi : Suatu Pengantar. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Sutiono interview. 2019.” Kehidupan Sosial, Ekonomi, dan Konflik Masyarakat Pesisir di Desa Pidodo Kulon, Kabupaten Kendal”.Kendal.

Widjaja.2010. Otonomi Desa. Depok : Rajawali Pers.

Comments

Popular Posts