SUKU ALAS
Suku
Alas merupakan salah satu suku yang
bermukim di Kabupaten Aceh
Tenggara, Provinsi Aceh.
Kata "alas" dalam bahasa berarti "tikar". Hal ini
ada kaitannya dengan keadaan daerah itu yang membentang datar seperti tikar di
sela-sela Bukit Barisan.
Daerah Tanah Alas dilalui banyak sungai, salah satu diantaranya adalah Lawe
Alas.
Sebagian
besar suku Alas tinggal di pedesaan dan hidup dari pertanian dan peternakan.
Tanah Alas merupakan lumbung padi untuk
daerah Aceh. Tapi selain itu mereka juga berkebun karet, kopi,dan kemiri, serta
mencari berbagai hasil hutan, seperti kayu, rotan, damar dan kemenyan.
Sedangkan binatang yang mereka ternakkan adalah kuda, kambing, kerbau, dan
sapi.
Kampung
atau desa orang Alas disebut kute. Suatu kute biasanya didiami oleh satu atau
beberapa klan, yang disebut merge. Anggota satu merge berasal dari satu
nenek moyang yang sama. Pola hidup kekeluargaan mereka adalah kebersamaan dan
persatuan. Mereka menarik garis keturunan patrilineal, artinya garis keturunan
laki-laki. Mereka juga menganut adat eksogami merge, artinya jodoh harus dicari
di merge lain.
Suku
Alas 100% adalah penganut agama Islam.
Namun masih ada juga yang mempercayai praktik perdukunan misalnya dalam
kegiatan pertanian. Mereka melakukan upacara-upacara dengan latar belakang
kepercayaan tertentu agar pertanian mereka mendatangkan hasil baik atau terhindar
dari hama.
BAHASA
Dalam
pergaulan sehari-hari Suku Alas mempunyai Bahasa sendiri yakni Bahasa Alas (Cekhok
Alas). Bahasa ini merupakan rumpun bahasa dari Austronesia. Suku Kluet di kabupaten Aceh Selatan juga
menggunakan Bahasa yang hampir sama dengan bahasa suku Alas. Bahasa ini
memiliki banyak kesamaan kosakata dengan bahasa Karo yang dituturkan masyarakat
Karo di Provinsi Sumatera Utara. Pada tahun 2000, jumlah penutur bahasa ini
mencapai 195.000 jiwa. Diperkirakan bahasa ini merupakan turunan dari bahasa
Batak, namun Masyarakat Alas sendiri menolak label "Batak" karena
alasan perbedaan Agama yang dianut. Sementara itu, tidak diketahui pasti apakah
bahasa ini merupakan bahasa tunggal atau bukan.
SEJARAH
Ukhang
Alas atau khang Alas atau Kalak Alas telah bermukim di lembah Alas, jauh
sebelum Pemerintah Kolonial Belanda masuk ke Indonesia di mana keadaan penduduk
lembah Alas telah diabadikan dalam sebuah buku yang dikarang oleh seorang
bangsa Belanda bernama Radermacher (1781:8), bila dilihat dari catatan sejarah
masuknya Islam ke Tanah Alas, pada tahun 1325 (Effendy, 1960:26) maka jelas
penduduk ini sudah ada walaupun masih bersifat nomaden dengan menganut
kepercayaan animisme.
Nama
Alas diperuntukan bagi seorang atau kelompok etnis, sedangkan daerah Alas
disebut dengan kata Tanoh Alas. Menurut Kreemer (1922:64) kata "Alas"
berasal dari nama seorang kepala etnis (cucu dari Raja Lambing) keturunan Raja
Pandiangan di Tanah Batak. Dia bermukim di desa paling tua di Tanoh Alas yaitu
Desa Batu Mbulan.
Menurut
Iwabuchi (1994:10) Raja yang pertama kali bermukim di Tanoh Alas adalah
terdapat di Desa Batumbulan yang dikenal dengan nama RAJA LAMBING, keturunan
dari Raja Pandiangan di Tanah Batak. Raja Lambing adalah moyang dari
merga Sebayang di
Tanah Karo dan Selian di
Tanah Alas. Raja Lambing merupakan anak yang paling bungsu dari tiga bersaudara
yaitu abangnya tertua adalah Raja Patuha di Dairi, dan nomor dua adalah Raja
Enggang yang hijrah ke Kluet Aceh Selatan, keturunan dan pengikutnya adalah
merga Pinem atau Pinim.
Kemudian
Raja Lambing hijrah ke Tanah Karo di mana keturunan dan pengikutnya adalah merga Sebayang dengan
wilayah dari Tigabinanga hingga ke perbesi dan Gugung Kabupaten Karo.
Diperkirakan
pada abad ke 12 Raja Lambing hijrah dari Tanah Karo ke Tanah Alas, dan bermukim
di Desa Batumbulan, keturunan dan pengikutnya adalah merga Selian. Di Tanah
Alas Raja Lambing mempunyai tiga orang anak yaitu Raja Lelo (Raje Lele)
keturunan dan pengikutnya ada di Ngkeran, kemudian Raja Adeh yang merupakan
moyangnya dan pengikutnya orang Kertan, dan yang ketiga adalah Raje Kaye yang
keturunannya bermukim di Batumbulan, termasuk Bathin. Keturuan Raje Lambing di
Tanah Alas hingga tahun 2000, telah mempuyai keturunan ke 26 yang bermukim tersebar
di wilayah Tanah Alas (Effendy, 1960:36; sebayang 1986:17).
Setelah
Raja Lambing kemudian menyusul Raja Dewa yang istrinya merupakan putri dari
Raja Lambing. Raja Lambing menyerahkan tampuk kepemimpinan Raja kepada Raja
Dewa (menantunya). Yang dikenal dengan nama Malik Ibrahim, yaitu pembawa ajaran
Islam yang termashur ke Tanah Alas. Bukti situs sejarah ini masih terdapat di
Muara Lawe Sikap, desa Batumbulan. Malik Ibrahim mempunyai satu orang putera
yang di beri nama ALAS dan hingga tahun 2000 telah mempunyai keturunan ke 27
yang bermukim di wilayah Kabupaten Aceh Tenggara, Banda Aceh, Medan, Malaysia
dan tempat lainnya.
Ada
hal yang menarik perhatian kesepakatan antara putera Raja Lambing dengan putra
Raja Dewa bahwa syi’ar Islam yang dibawa oleh Raja Dewa diterima oleh seluruh
kalangan masyarakat Alas, tetapi adat istiadat yang dipunyai oleh Raja Lambing
tetap di pakai bersama, ringkasnya hidup dikandung adat mati dikandung hukum
(Islam) oleh sebab itu jelas bahwa asimilasi antara adat istiadat dengan
kebudayaan suku Alas telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu.
Pada
awal kedatanganya Malik Ibrahim migrasi melalui pesisir bagian timur (Pasai)
sebelum ada kesepakatan diatas, ia masih memegang budaya matrealistik dari
minangkabau, sehingga puteranya Raja Alas sebagai pewaris kerajaan mengikuti
garis keturunan dan merga pihak ibu yaitu Selian. Setelah Raja Alas menerima
asimilasi dari Raja Lambing dengan ajaran Islam, maka sejak itulah mulai
menetap keturunannya menetap garis keturunannya mengikuti garis Ayah. Raja Alas
juga dikenal sebagai pewaris kerajaan, karena banyaknya harta warisan yang
diwariskan oleh ayah dan kakeknya sejak itulah dikenal dengan sebutan Tanoh
Alas. Setelah kehadiran Selian di Batumbulan, muncul lagi kerajaan lain yang dikenal
dengan Sekedang yang basis wilayahnya meliputi Bambel hingga ke Lawe Sumur.
Raja sekedang menurut beberapa informasi pada awal kehadiranya di Tanah Alas
adalah untuk mencari orang tuanya yaitu RAJA DEWA yang migran ke Tanah Alas.
Raja Sekedang pertama kali datang ke Tanah Alas diperkirakan pada pertengahan
abad ke 13 yang lalu yaitu bernama NAZARUDIN yang dikenal dengan panggilan
DATUK RAMBUT yang datang dari Pasai.
Pendatang
berikutnya semasa Raja Alas yaitu kelompok Megit Ali dari Aceh pesisir dan
keturunannya berkembang di Biak Muli yang dikenal dengan merga Beruh. Lalu
terjadi migran berikutnya yang membentuk beberapa marga, namun mereka tetap
merupakan pemekaran dari Batumbulan, penduduk Batumbulan mempuyai beberapa
kelompok atau merga yang meliputi Pale Dese yang bermukim di bagian barat laut
Batumbulan yaitu terutung pedi, lalu hadir kelompok Selian, datang kelompok
Sinaga, Keruas dan Pagan disamping itu bergabung lagi marga Munthe, Pinim dan
Karo-Karo.
Marga Pale Dese merupakan penduduk yang pertama sekali menduduki Tanah Alas, namun tidak punya kerajaan yang tercatat dalam sejarah. Kemudian hadir pula Deski yang bermukim di kampong ujung barat.
TOLONG
MENOLONG MASYARAKAT ALAS
Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Imami (2015) dalam desertasinya yang berjudul
Perbedaan Perilaku altruisme dalam Kalangan empat suku utana di Aceh Tenggara,
ia menemukan beberapa ciri khas budaya menolong masyarakat Alas. Suku Alas
melakukan tolong menolong dalam hal:
1. Bidang
sosial ekonomi
Bagi salah seorang dari suku Alas yang
baru membentuk rumah tangga, secara adat akan dibantu orang tua dari pihak
lelaki dan orang tua di pihak perempuan. Orang tuanya akan memberikan bantuan
secara percuma sesuai dengan kemampuannya. Budaya memberi bantuan untuk
pengantin dalam suku Alas dikenal dengan berbagai istilah yaitu :
(1) Jawè, artinya pisah rumah. Pengantin yang dianggap telah cukup masa
tinggal di rumah ibu orang tua pengantin lelaki harus membentuk rumah tangga
yang baik dengan tinggal di rumah lain. Sebagai modal awal, orang tuanya akan
memberikan modal usaha dan beberapa peralatan yang diperlukan. Pemberian modal
ini biasanya disimbolkan dengan pemberian beras satu bambu, air satu teko, ayam
satu pasang, peralatan makan seadanya. Ini menunjukkan bahwa orang tuanya
mendidiknya untuk mandiri. Adapun beras dan air sebagai simbol makanan pokok.
Ayam sepasang sebagai modal usaha dalam peternakan, dan piring, gelas serta
peralatan dapur seadanya untuk memasak makanan. Pemberian ini dimaksudkan sebagai
modal awal dalam memulai kehidupan yang baru dan selanjutnya harus berusaha
mandiri “berdiri di atas kakinya sendiri”.(2) Pesula’i, bermaksud
memberikan ‘hadiah’ sebagai cikal bakal dalam memulai kehidupan yang baru.
Pesula’i adalah pemberian dari orang tua pengantin perempuan kepada anaknya
dengan maksud membantunya dalam menempuh hidup baru. Budaya ini menandakan
bahwa ini adalah pemberian yang terakhir dari mereka untuk anaknya, karena
selannjutnya ia akan menjadi tanggungjawab suaminya. Barang-barang yang
biasanya diberikan adalah perhiasan dari emas dan alat-alat rumah tangga yang
diperlukan.
2. Bidang
pertanian
Pada bidang pertanian ada beberapa
istilah tolong menolong yang dilakukan. (1) Budaya Peleng Akhi, Budaya ini
mempunyai arti ‘bergiliran’. Maksudnya, bekerja sama dalam melakukan pekerjaan
di bidang pertanian dengan cara bergiliran. Orang yang telah dibantu
pekerjaannya oleh orang lain diwajibkan untuk menggantinya dengan bekerja di
lahan pertanian orang tersebut di lain waktu (2) Nempuhi, Artinya membantu
orang lain dalam hal bertani tanpa mengharapkan ganjaran dari pekerjaan itu.
Budaya ini biasanya dilakukan kepada orang yang dihormati separti guru atau
pemimpin kampung, serta orang yang mempunyai kelemahan secara fisik. Perilaku
ini dimaksudkan agar guru atau pemimpin dapat melakukan tugasnya dengan baik
dalam mendidik atau memimpin masyarakat. Khusus untuk membantu guru biasa
disebut dengan istilah nempuhi gukhu. Pada kegiatan nempuhi ini
biasanya mereka membawa makanan sendiri sebagai tanda keikhlasan dalam
membantu. Sebaliknya, bila yang dibantu itu guru atau pemimpin, mereka
mempunyai kesadaran untuk menyediakan makanan dan minuman kepada para pekerja
tersebut sebagai bentuk penghargaan dan terimakasih.
ACARA
ADAT ISTIADAT
Tradisi
Pemamanan Suku Alas
Upacara
adat istiadat yang ada dalam masyarakat suku Alas adalah Turun Mandi, Sunat
Khitan, Perkawinan, dan Kematian. Pada setiap kegiatan ini dikenal beberapa
budaya tolong menolong yang dilakukan oleh masyarakat sesuai dengan posisinya
dalam struktur kekerabatan. Ada tiga struktur kekerabatan dalam suku Alas yang
dikenal dengan istilah Tungku si telu. Artinya Tungku/tempat memasak
dengan kayu api yang terdiri dari tiga batu. Secara filosofis kegiatan memasak
hanya dapat dilakukan dengan adanya tiga batu tersebut, apabila kurang satu
maka kuali atau wajan tidak dapat diletakkan di atasnya sehingga masakan tidak
dapat diproses. Ketiga fungsi kekerabatan dalam suku Alas tersebut
yaitu Wali, Sukut/Senine, dan Pebekhunen/Malu. Adapun bentuk
tolong-menolong yang dilakukan adalah (1) Pemamanen, yaitu panggilan yang
diberikan kepada rombongan yang datang dari pihak Wali yaitu ayah dan
saudara lelaki dari perempuan (Malu) yang mempunyai hajatan. Pada setiap
acara adat Alas, pemamanen mempunyai peran penting karena mereka adalah tamu
yang dimuliakan. Dalam setiap kegiatan mereka akan membawa bantuan kepada tuan
rumah dan biasanya bantuan ini dalam bentuk materi atau sejumlah uang. Semakin
tinggi nilai bantuan maka semakin tinggi pula prestige yang mereka dapatkan.
Begitupula tuan rumah merasa lebih dihormati dan dimuliakan. Slogan yang
menjadi filosofi budaya ini adalah Besar wali karena malu, besar malu
karena wali. (2) Tempuh, artinya bantuan yang diberikan oleh saudara dekat
atau diistilahkan dengan kelompok sukut artinya orang yang punya
kerja (saudara kandung atau masih mempunyai pertalian darah dan marga). Bantuan
ini terkadang ditentukan dalam musyawarah keluarga, namun terkadang juga tidak
ditentukan, sehingga pemberian didasarkan oleh kesadaran masing-masing yang
disesuaikan dengan kemampuannya, serta bergantung pula pada jauh dekatnya
pertalian kekerabatan yang dimiliki. (3) Nempuhi Wali artinya
membantu wali, bantuan ini diberikan oleh Malu yaitu anak perempuan
atau saudara perempuan yang sudah kawin dan pebekhunen yaitu suaminya
kepada pihak wali yang mempunyai hajatan/acara adat. Dalam setiap kegiatan
bantuan yang mereka berikan adalah dalam bentuk tenaga, misalnya bertanggung
jawab di dapur dalam menyiapkan hidangan dan membereskannya. Sebenarnya Nempuhi
Wali ini merupakan kewajiban yang ditetapkan dalam budaya suku Alas tidak
hanya pada kegiatan yang menyangkut adat-istiadat, tetapi juga pada kegiatan
lainnya dalam kehidupan sehari-hari seperti membantu di sawah dan lain-lain.
MARGA
Menurut buku Sanksi dan Denda Tindak Pidana Adat Alas, Dr
Thalib Akbar MSC (2004) adapun marga–marga etnis Alas yaitu : Selian,
Bangko, Deski, Keling, Kepale Dese, Keruas, dan Pagan. Kemudian ada lagi marga
Acih, Beruh, Gale, Kekaro, Mahe, Menalu, Mencawan, Munthe, Pase, Pelis, Pinim,
Ramin, Ramud, Sambo, Sekedang, Sugihen, Sepayung, Sebayang\arga Tarigan.
SENI TARI
Adapun kesenian dari
etnis suku Alas (Musyawarah Adat Alas dan Gayo, 2003) :
1. Tari Mesekat
2. Pelabat
3. Landok
Alun
4. Tangis Dilo
5. Canang
Situ
6. Canang
Buluh
7. Genggong
8. Oloi-olio
9. Keketuk
layakh
KERAJINAN
Adapun
kerajinan tradisional dari etnis alas seperti :
1. Nemet (mengayam daun rumbia)
2. Mbayu amak (tikar pandan)
3. Bordir pakaian adat
4. Pande besi (pisau bekhemu)
MAKANAN
TRADISIONAL
Adapun
makanan tradisional dari suku alas adalah :
1. Manuk labakh
2. Ikan labakh
3. Puket Megaukh
4. Lepat bekhas
5. Gelame
6. Puket Megaluh
7. Buah Khum-khum
8. Ikan pacik kule
9. Telukh Mandi
10. Puket mekuah
11. Tumpi
12. Godekhr
13. Puket sekuning
14. Cimpe
15. Getuk
Comments
Post a Comment